Kisah derita seorang pencipta software

Bambang Nurcahyo Prastowo

Tenaga Pendidik di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM

Mail: prastowo@ugm.ac.id * Web: http://prastowo.staff.ugm.ac.id
Mobile: +62 811-2514-837 * CV singkat

Kisah derita seorang pencipta software

Date: 30-08-08 07:52
Artikel Derita Pencipta Software mengundang 2 komentar saya. Pertama singkat saja. Dalam artikel itu, Ditjen HKI hanya menyebutkan "Sumber: Media Cetak." Apakah aturannya memang tidak boleh menyebutkan nama media sumbernya? Kedua, mengenai karya intelektual, utamanya yang berwujud digital material, perlu mendapat perlakukan khusus mengingat sifat manufacturingnya yang berbeda dengan hardware macam mobil atau mebel. Secara pribadi saya cenderung menyetujui wacana menghapuskan regim paten dan hakcipta, utamanya yang ditujukan pada karya software.

Mestinya kita sadar betul bahwa era industri dengan material digital memang beda dengan industri manufacturing mobil atau furniture. Untuk memproduksi satu unit mobil tetap diperlukan banyak material, ennergi yang besar untuk menjalankan robot industrinya dan melibatkan sejumlah SDM. Untuk manufacturing sekeping CD berisi digital material, kita bisa mempekerjakan anak SD dengan modal komputer jangkrik.

Memaksakan model bisnis digital pada bisnis industri manufacturing hardware menurut saya menyalahi kodrat sebagaimana konsep IPR sendri yang pada dasarnya menyalahi kodrat mengingat ilmu pengetahuan manusia berkembang turun-temurun.

Banyak project e-government dilaksanakan dengan dana yang diperhitungkan berdasar man hour SDM yang terlibat. Produk dari project yang didanai dengan tax payer money pada dasarnya harus menjadi milik publik sehingga biaya pemakaiannya untuk instansi lain tidak lagi boleh memasukkan biasa pembuatan. Kalau ada man hour tambahan untuk kastemisasi, modifikasi fitur, dsb, ya silakan saja wujudkan dalam bentuk biaya instalasi, kastemisasi dan modifikasi tetapi tidak boleh ada biasa pembuatan. Kodratnya demikian. Minta dana untuk pekerjaan yang pada dasarnya sudah didanai sebelumnya adalah dzalim.

Saya usul pada teman-teman dari sisi pihak-pihak yang memerlukan software seperti Pemerintah Daerah, agar memasukkan GPL (atau model-model opensource licensing lain) kedalam persyaratan produk software yang dibangun. Kalau price is right, pasti ada yang mau mengerjakannya.

Dunia teknologi informasi dan komunikasi tidak akan berhenti berkembang karena adanya satu dua orang yang "malas" berinovasi akibat keinginannya untuk menjual kertas lisensi dengan terpenuhi.


Cukup lah bisa dikatakan sebagai pendusta, seseorang yang mengatakan semua yang didengarnya (h.r. Muslim)

Kirim Komentar

Nama:
Website:

Ketik 1F36 di
  • 3. Combinesia

    about combinesia

    01-10-20 03:40
  • 2. sufehmi

    Tullisan yang bagus pak, jadi ingat beberapa waktu yang lalu kami diundang oleh kawan2 di sebuah bagian di departemen Hukum.

    Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah data itu milik vendor atau milik pemerintah ?

    Mungkin bagi kita ini adalah pertanyaan yang mencengangkan, namun mereka memang betul-betul tidak tahu.

    Jadi bisa kita bayangkan sendiri bagaimana terpananya mereka ketika kami jelaskan mengenai konsep open source --- tidak hanya data, namun source code dari softwarenya pun mereka dapatkan !

    Tulisan2 seperti ini bisa membantu mencerahkan kawan2 kita yg itikadnya baik, namun belum tahu saja.

    Thanks.

    03-03-09 05:44
  • 1. Eko SW

    Open Source akan memulai arah yg baru dr pengembangan software u/ Government. Tapi, apa nurani kt sudah siap ya Pak?

    02-09-08 09:38