Hukum Tuhan dan hukum positif

Bambang Nurcahyo Prastowo

Tenaga Pendidik di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM

Mail: prastowo@ugm.ac.id * Web: http://prastowo.staff.ugm.ac.id
Mobile: +62 811-2514-837 * CV singkat

Hukum Tuhan dan hukum positif

Date: 02-02-08 07:05

Atas permintaan Pak Purwoko, saya akan sampaikan pendapat saya tentang isu yang dilontarkan Nurul Barizah di Jawa Pos. Dua paragraf yang saya anggap inti pembicaraan adalah:

Mencampurkan konsep haram (hukum Allah) dengan
pelanggaran hukum positif adalah kurang tepat karena
seseorang dianggap melanggar hukum positif jika telah ada
putusan pengadilan yang tetap. Hukum positif adalah hukum
yang dinamis, dapat berubah setiap waktu.

Jika konsep haram dikaitkan dengan hukum positif, maka
konsep haram juga akan berubah-rubah sesuai dengan kondisi.
Bukankah hal ini tidak malah membinggungkan?

Menurut pemahaman saya, pada dasarnya pengadilan hukum Tuhan (dengan istilah halal, haram) akan kita temui di akhirat. Artinya, seseorang tidak serta merta menjadi berdosa dihadapan Allah s.w.t karena dijatuhi hukuman oleh pengadilan di dunia, termasuk pengadilan agama. Dalam konteks pemahaman itu, yang mencampuradukkan konsep haram dengan pelanggaran hukum positif justru Nurul Barizah sendiri. Bisa saja urusan halal-haram masuk pengadilan, tetapi itu terjadi setelah ada adopsi konsep itu pada sistem hukum negara yang berlaku seperti perjudian, pelacuran, dan minuman keras. Status berdosa tidaknya seseorang, hanya yang Maha Tahu yang bisa memastikan.

Dalam pemahaman keagamaan (khususnya Islam yang membawa misi keadilan), hukum positif difahami sebagai perjanjian di masyarakat. Di negeri yang menyatakan mengadopsi sepenuhnya hukum Islam pun harus mengambil keputusan pilihan atas beberapa alternatif interpretasi. Pernyataan MUI tentang haramnya pelanggaran HKI sejalan dengan pemahaman saya tentang berdosanya orang yang melanggar peraturan lalulintas. Mekanisme banding, peninjauan kembali, mahkamah konstitusi, menunjukkan pemahaman kita akan ketidaksempurnaan sistem pengadilan dunia. Fenomena "say no to software patent" telah menunjukkan ketidaksempurnaan sistem perlindungan hakcipta dan paten. Namun demikian, itu tidak berarti memberi rasa halal pada umat manusia untuk membajak karya orang lain begitu saja.

Penjelasan rinci tentang HKI yang sesuai dan tidak sesuai hukum Islam tidak diperlukan karena fungsi dari fatwa itu menyampaikan pendapat MUI tentang adanya dosa dalam tindak kejahatan (versi hukum positif) pembajakan karya intelektual. Rincian kesesuaian dengan hukum Islam masih perlu diteliti kalimat-per-kalimat dari perundang-undangan tentang hakcipta dan paten itu. Kalau memang diperlukan, bisa saja dilakukan penelitian kasus per kasus; bisa saja dimintakan fatwa MUI tentang berdosatidaknyanya orang yang menjual buah tanaman yang tumbuh dihalamannya yang kebetulan struktur genetik tumbuhannya telah dipatenkan orang lain.

Pernyataan Fatwa MUI membunuh kreativitas jelas berlebihan. Kenyataannya, gerakan opensource, open content, open access, muncul di negeri yang sistemnya sangat melindungi hak cipta. Di Indonesia, sistem perlindungan hak cipta masih bersifat suka-suka. Karena itu pertumbuhan kreativitas pengembangan produk baru yang free belum sedahsyat di Amerika (menyusul Jepang). Kreativitas kita masih pada level tukar-menukar lisence key antar para user; berburu crack (software untuk membobol sistem lisence key) dan sebagainya.

Pendapat saya mungkin akan berubah apabila ada kejadian ekstrim semisal berbekal Fatwa MUI tentang HKI, BSA menggandeng FPI menggerebeg pengguna produk Microsoft (TM) bajakan.


Cukup lah bisa dikatakan sebagai pendusta, seseorang yang mengatakan semua yang didengarnya (h.r. Muslim)

Kirim Komentar

Nama:
Website:

Ketik 5C10 di
  • 7. wea_bee

    pengadilan Tuhan orang Islam mengenal 5 hukum halal-haram misalnya selain halal haram adalah makruh (jelas atau remang2), entah dengan agama lain.
    Bagaimana ini ?
    Negara kita adalah negara Pancasila yg di dalamnya ada Ketuhanan bila ingin mempelajarti tentang halal haram sesuatu, jika ditentukan oleh semua, halal hanya bergantung pada perjanjian masyarakat saja kmd ditentukan mjd hukum (orang Islam oleh MUI yg mewakili semua Islam)
    atau sila ke 5
    menghargai hasil karya orang lain di mana di indonesia masih di proses tentang HAKI yg akhirnya masih belum disetujui oleh semua mungkin karena kemanusiaan beberapa orang ingin berbagi hasil karyanya yg remeh/mudah baginya tetapi bagi orang lain adalah sesuatu yg luar biasa
    tentang yg lain bisa Anda ambil contoh sendiri
    tentang MUI apakah diragukan karena belum terwakili aliran2 lain yg baru yg berkembang di indonesia yg masih oleh sebagian orang dikatakan eksklusif
    Terus berkarya di bumi indonesia, tanpa meninggalkan batas/norma sesuai dengan kepribadian Pancasila,karena kita di Indonesia, smoga baik2 saja dan aman2 saja, amien2


    11-04-10 02:29
  • 6. Citra

    Mungkin, FPI belum baca fatwanya.

    Sebenarnya, yang diperlukan adalah rasa menghormati dan menghargai keputusan suatu pihak atas hak miliknya sendiri. Toh, kita semua punya hak atas karya yang kita buat, kan? Ada yang mau karyanya eksklusif, tertutup, terbatas. Ada pula yang ingin karyanya terbuka, bebas, dimanfaatkan sebanyak-banyaknya orang tanpa memikirkan royalti.

    Kita harus menghormati dua aliran tersebut. Memperdebatkan hal ini hanya akan membuat kita terlihat sibuk sendiri.

    Saya setuju dengan ahmad. Produk ber-HKI umumnya memiliki persetujuan/perjanjian. Kalau tidak setuju, jangan dibeli/dipakai. Kalau tidak setuju, jangan dibeli/dipakai. Kalau sudah dibeli/dipakai alias setuju, jangan dilanggar persetujuan/perjanjiannya. Kalau dilanggar, berarti mengingkari janji. Jatuh-jatuhnya toh dosa juga, kan?

    Soal Fatwa MUI yang membunuh kreativitas, sepertinya itu memang berlebihan. Fatwa MUI sama sekali tidak membatasi kreativitas. Itu menurut saya, lho. Mohon koreksiannya jika salah.

    19-09-08 06:25
  • 5. Prastowo

    Persoalanannya tidak sesederhana itu. Pertanyaan justru pada siapa yang punya wewenang untuk menentukan perijinan penggunaan karya intelektual? Pada kasus pencurian mangga, pemilik kehilangan sesuatu. Pada pembajakan karya digital, pemilik tidak kehilangan satu bit pun.

    07-03-08 02:27
  • 4. ahmad

    maaf pak, saya awam tentang hukum Islam. bukankah membajak karya orang lain ini mempunyai arti "menggunakan/memanfaatkan karya /barang/produk orang lain tanpa seIJIN dari yang punya?jika ini yang dipahami bersama maka sangat jelas perbuatan yang seperti dilarang dalam syari'at Islam. Jika kita mendapatkan karya orang dengan cara-cara yang halal, semisal kita diberi oleh empunya, atau kita peroleh sebagai bentuk hadiah. maka ini bukanlah PEMBAJAKAN.
    sebagai contoh kecil: sebuah buku bacaan dijual dengan harga Rp.20,- oleh pengarangnya denga n catatan pengarangnya tidak mengijinkan buku tersebut digandakan atau difotocopy dalam bentuk apapun. jika kita membelinya maka secara ototmatis kita setuju dengan syarat yang ditetapkan oleh pengarang buku tersebut. dan haram buat kita untuk mengandakannya dalam bentuk apapun. seandainya kita nggak setuju dengan ketentuan pengarang buku tersebut maka kita nggak usah membeli buku tersebut. gampangkan.

    06-03-08 09:14
  • 3. ahmad

    maaf pak, saya awam tentang hukum Islam. bukankah membajak karya orang lain ini mempunyai arti "menggunakan/memanfaatkan karya /barang/produk orang lain tanpa seIJIN dari yang punya?jika ini yang dipahami bersama maka sangat jelas perbuatan yang seperti dilarang dalam syari'at Islam. Jika kita mendapatkan karya orang dengan cara-cara yang halal, semisal kita diberi oleh empunya, atau kita peroleh sebagai bentuk hadiah. maka ini bukanlah PEMBAJAKAN.
    sebagai contoh kecil: sebuah buku bacaan dijual dengan harga Rp.20,- oleh pengarangnya denga n catatan pengarangnya tidak mengijinkan buku tersebut digandakan atau difotocopy dalam bentuk apapun. jika kita membelinya maka secara ototmatis kita setuju dengan syarat yang ditetapkan oleh pengarang buku tersebut. dan haram buat kita untuk mengandakannya dalam bentuk apapun. seandainya kita nggak setuju dengan ketentuan pengarang buku tersebut maka kita nggak usah membeli buku tersebut. gampangkan.

    06-03-08 09:13
  • 2. sahal

    mungkin perlu didefinisikan kembali arti kata membajak/pembajakan . Apakah mengkopi suatu karya dan kemudian masih mengakui karya tersebut sesuai pembuat aslinya dan mengkopi kemudian mengaku-ngaku bahwa karya tersebut adalah miliknya sama-sama disebut sebagai tindakan pembajakan?

    Kalau di dalam dunia software mungkin kata pembajakan lebih cenderung pada pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati antara pembuat dengan pengguna (license agreement) , karena itu mengkopi bisa saja syah jika di dalam license agreement dibolehkan(spt dalam license open source), bahkan ada beberapa program(mungkin tidak bisa disebut program karena ukurannya sangat kecil, seperti misal contoh kode algoritma sorting dalam bahasa pascal) bisa jadi beredar tanpa ada lisensi, setiap orang bisa saja mengaku bahwa dia yang membuatnya (spt contoh saya mengaku kepada dosen bahwa tugas membuat algoritma sorting di dalam bahasa pascal ini adalah buatan saya), dan hal tersebut syah secara hukum duniawi, meski secara agamawi dianggap dosan karena termasuk berbohong atau dosa

    Nah, masalahnya untuk hal2 selain software, misal lagu atau movie seringkali tidak disebarluaskan bersamaan dengan sebuah license agreement, dan kemudian yang menjadi acuan adalah asumsi hukum secara umum. Padahal bisa jadi ada karya yang dibuat tanpa dipikirkan dulu perjanjian/license apa yang akan dipakai, dan ketika karya tersebut sukses dan dikopi tiba-tiba sang pembuat menuntut si tukang kopi, dimana kalau diterapkan model hukum di dunia software, tanpa licensi berarti merupakan public domain atau milik publik

    Kalau menurut saya, sebaiknya fatwa MUI itu lebih diperjelas, saya pikir mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri adalah hal yang patut diharamkan, karena kaitannya dengan perbuatan curang, berbohong, dan mendholimi orang lain. Kalo soal kopi mengkopi, tegantung perjanjian antara pembuat dan kustomer-nya saja, dan sebaiknya itu masuk hukum duniawi saja, tidak perlu sampai menjadi fatwa segala

    ;s.h.l.

    13-02-08 03:36
  • 1. purwoko

    Setahu saya HKI terdiri dari hak paten dan hak cipta. Jika di telusur, penerapan HKI berujung pada materi. Tanpa bermaksud untuk membelokkan diskusi, maka secara substansial -pemahaman saya-- HKI adalah perlindungan hak "materi" atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia.

    Ruwetnya penerapan HKI, bermula pada si pemilik HKI. Dia tidak mau jika apa yang telah dia ciptakan dibajak, yang akhirnya mengurangi income yang mestinya dia miliki. Ini memang hak dia, sebagai penemu. Selain itu juga pada daya beli masyarakat.

    namun jika di kaitkan dengan smangat keagamaan, bukankah ilmu atau segala bentuk hasil karya manusia itu dicipta untuk kemaslahatan ummat manusia? jika demikian maka idealnya (?) keikhlasan menjadi landasan para ilmuwan, penulis buku dll dalam menyebarkan apa yang menjadi karyanya.

    Penyebaran karya (dalam arti positif lho), tanpa di bentengi dengan UU HKI menurut saya justru akan memperlancar arus informasi, memperbanyak orang yang menerima, sehingga mempercepat pula perkembangan ilmu pegetahuan.

    Tt haramnya pembajakan (Fatwa MUI). Menanggapi hal ini, setahu saya dalam Islam ada dua aliran. Pertama, dengan segala dalil dan kajian fiqh, menyimpulkan bahwa pembajakan adalah haram. --MUI ikut yang ini--. Yang kedua berpendapat bahwa "pelarangan membajak atas karyanya" itu sendiri merupakan hal yang dilarang. Karena ketika seseorang mendapatkan buku, barang, rekaman mp3 dengan cara halal, maka barang tersebut sudah merupakan hak miliknya. Adalah hak dia sepenuhnya untuk membuat, membuang, merekam, menulis kembali, mengkopi dll dll (secara fisik). Sedangkan yg dilarang adalah mengklaim bahwa buku, teknologi, sains itu adalah karyanya (secara substansial/isi/informasi).

    Saya bukan ahli fiqh pak, jadi ya sekedar mengutarkan pendapat orang saja.

    -----

    Menurut saya pribadi, seperti yg dituliskan oleh Nurul Barizah, kita mesti menelusuri asal mula HKI, dengan berbagai aspeknya. Kapan/dimana pertama HKI lahir, atas pertimbangan apa, Politik, ekonomi, sosial, budaya dll.
    Saya pernah mendapat informasi, bahwa di Iran, seorang ulama memiliki toko buku sendiri, kemudian jika ada orang yg menggandakan buku tulisan ulama itu, justru akan menjadi kebanggaan bagi ulama itu karena ilmunya dapat lebih cepat disebarkan....., khusus di Iran ini ada beberapa kemungkinan. Ilmuwan telah mencapai tahap ikhlas yang sebenar-benarnya, atau dia telah terpenuhi kebutuhan diniawinya. Jika kemungkinan kedua, maka lagi2 materi tetap berperan dalam hal ini....

    Sedikit --dengan segala keterbatasan-- saya menulis tt HKI di sini:
    http://purwoko.staff.ugm.ac.id/web/?p=59

    salam ta'dzim
    Purwoko

    04-02-08 07:33