Dapat Indonesia menerapkan e-Voting?

Bambang Nurcahyo Prastowo

Tenaga Pendidik di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM

Mail: prastowo@ugm.ac.id * Web: http://prastowo.staff.ugm.ac.id
Mobile: +62 811-2514-837 * CV singkat

Dapat Indonesia menerapkan e-Voting?

Date: 05-08-14 11:47

Sehubungan dengan hingar-bingar pemilu 2014, banyak teman menanyakan apa susahnya menerapkan sistem e-voting di Indonesia. Mengapa Undang-undang pemilu mengamanahkan kerja pemungutan suara dan penghitungannya dilakukan secara manual? Dalam ulasan pendek berikut ini saya akan coba jawab pertanyaan itu.

Pemilu di Indonesia mengikuti prinsip LUBER yakni langsung, umum, bebas dan rahasia. Langsung artinya suara diberikan langsung oleh pemilih tanpa perantara. Umum berarti tidak ada perbedaan tatacara bagi semua masyarakat pemilih. Presiden maupun gelandangan mempunya hak yang sama dalam memberikan suaranya dengan cara yang sama. Bebas artinya semua bisa menentukan pilihannya sendiri tanpa tekanan atau keharusan mengikuti perintah dari pihak mana pun. Rahasia artinya tidak ada seorang pun (termasuk panitia) yang bisa mengetahui secara pasti pilihan apa yang diberikan oleh orang lain. Di era reformasi ada tambahan JURDIL sebagai singkatan dari jujur dalam arti tidak ada kecurangan dan adil dalam arti semua calon mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih.

Sebelum membahas skema implementasi e-voting, kita tengok dulu bagaimana KPU merancang sistem untuk mengawal asas LUBER. Perlu difahami kalau kerja awal yang paling berat adalah menyusun daftar pemilih dan daftar calon yang dipilih. Pemberitaan berbagai permasalah penyusunan daftar pemilih dan daftar calon menunjukkan adanya kerumitan tersendiri di situ namun tidak dibahas di sini karena di luar topik voting.

Secara umum asas LUBER dikawal dengan cara memecah pemungutan suara dalam kelompok berjenjang; anggota kelompok di tiap jenjang diusahakan berjumlah tidak terlalu besar sehingga proses yang terlibat yang bisa dikerjakan dan diawasi langsung secara manual oleh pelaksana dan saksi-saksi. KPU mencatat total dalam Daftar Pemilih Tetap sebanyak 190.307.134 pemilih, tersebar di 478.685 KPPS, 81.142 PPS, 6.980 PPK, 497 KPU Kabupaten Kota dan 33 KPU Provinsi. Sumber: http://humasdaninfo.lan.go.id/190-juta-rakyat-indonesia-akan-memilih-presiden-dan-wakil-presiden-2014-2019/ Angka ini lebih besar dari registered voter untuk pemilu Amerika 2014. Perlu diketahui bahwa di Amerika, warga negara lah yang aktif mendaftar sebagai pemilih; yang tidak mendaftar tidak boleh memilih. Di Indonesia, KPU aktif mendaftar dan mengundang pemilih.

Level terbawah (atau teratas tergantung cara menggambar diagramnya) adalah kelompok masyarakat yang memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diselenggarakan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Setiap TPS mengelola pemungutan suara dan perhitungan untuk sekitar 300-500 pemilih. Kerahasiaan pilihan individu pemilih dijamin pada kelompok level ini. Anggota KPPS diambil dari masyarakat setempat sehingga dapat mengawal asas langsung. Karena dari penduduk setempat, KPPS diharapkan bisa mengenali secara langsung bahwa mereka yang membawa surat undangan pemilihan untuk ditukar dengan kartu suara adalah orang yang namanya tercantum di undangan itu. Untuk pemilih dari luar wilayah, pengecekan dilakukan dengan penunjukkan kartu identitas berfoto. Asas umum dipastikan dengan pemberlakukan prosedur yang sama untuk semua pemilih.

Asas bebas dikawal dengan pengambilan suara di bilik tertutup. Calon yang dipilih seseorang tidak diketahui oleh orang lain, tidak juga oleh panitia. Seusai ditandai pilihannya, kartu suara dimasukkan ke kotak suara bercampur dengan yang lain. Kejujuran KPPS dikawal dengan mekanisme kesaksian prosedur mulai memastikan kotak suara kosong pada awal acara, jumlah dan kondisi kelengkapan surat suara dan proses perhitungan. Di TPS, asas keadilan dijamin dengan menempelkan poster daftar semua pilihan.

KPPS melakukan proses perhitungan menggunakan kertas plano untuk mencoretkan garis-garis turus bendel per 5 suara. Selanjutnya data hasil tabulasi tingkat TPS diumumkan di lokasi agar bisa dilihat masyarakat. Selanjutnya data hasil pemungutan suara yang dituangkan di form C1 itu diserahkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) sebagai masukan untuk proses rekapitulasi tingkat berikutnya. Sebagai catatan, pilihan seseorang hanya bisa diketahui secara pasti bila 100% pemilih di suatu TPS menandai kertas suara pada pilihan yang sama. Ada perbedaan satu suara saja (beda pilihan, tidak memilih atau kartu suara rusak) sudah cukup untuk menggugurkan kepastian itu.

Mereka yang ingin memastikan kejujuran KPPS dapat menyaksikan seluruh proses mulai dari pemeriksaan alat kelengpapan pemilu sampai akhir penghitungan. Kesaksian ini secara formal diwakilkan pada saksi baik dari pihak yang berkompetisi dalam pemilu maupun saksi independen. Untuk memenuhi asas keadilan, KPU antara lain melakukan pengundian untuk menetapkan nomor urut pilihan. Catatan: KPU mengusung asas keadilan sampai ke pilihan tingkat partai (atau koalisi partai untuk pemilu eksekutif). Pada pemilu legislatif, urutan calon anggota legislatif ditentukan melalui mekanisme internal partai. Asas ini tidak akan kita bahas lebih lanjut mengingat fokus tulisan ini adalah proses pemungutan suara dan penghitungannya. Untuk mengapresiasi ruwetnya pemungutan suara, silakan baca buku panduan kerja teman-teman KPPS http://kpu.go.id/koleksigambar/2332014_BUKU_Panduan_KPPS.pdf

Kita mulai pembahasan kemungkinan penerapakan e-Voting di Indonesia dengan menengok beberapa hal menari terkait dengan pemilu 2012 di Amerika yang dimuat di laman web https://www.verifiedvoting.org/key-facts-2012/

  1. Sebanyak 99,5% suara dihitung langsung secara elektronik; masih ada 0,5% suara yang dihitung secara manual.
  2. Pelaksanaan pemungutan suara tidak seragam disemua negara bagian. 67% memasukkan suara menggunakan kertas suara scan komputer seperti lembar jawab UN. Pada mulut kotak suara dipasangi optical mark reader sehingga saat kertas dimasukkan ke kotak, suara langsung tercatat di komputer secara elektronik. 25% warga memilih dengan alat pilih elektronik penuh tanpa kertas sama sekali. Sisanya menggunakan alat pilik elektronik yang mencetak pilihan di kertas. Hasil cetakan dikumpulkan di kotak suara untuk keperluan audit peralatan elektroniknya.
  3. Post Audit dilakukan 25 dari 50 negara bagian.
    4. Sebanyak 33 negara bagian mengharuskan pencetakan suara di kertas.
    5. Kirim suara lewat email atau fax dibolehkan di 30 negara bagian.

Data dari survey kesiapan Amerika menggunakan sistem pemilu elektronik menunjukkan bahwa tidak semua wilayah siap menjalaninya. Banyak faktor yang harus dipersiapkan termasuk kualitas dari mesin pemilunya sendiri. http://www.verifiedvotingfoundation.org/wp-content/uploads/2012/09/CountingVotes2012_Final_August2012.pdf Beberapa kekhawatiran akan kurang akuratnya hasil voting menggunakan peralatan elektronik dibahas di http://m.computerworld.com/s/article/9233058/Election_watchdogs_keep_wary_eye_on_paperless_e_voting_systems

Kembali ke pertanyaan semula: bisa kah sistem e-voting diterapkan di Indonesia? Jawabnya bisa asal kan kita tidak memaksakan diri untuk menerapkannya di semua dari 530 ribu TPS yang ada.

Pertama, kita hasus sosialisasikan dulu bahwa pemungutan suara bisa terselenggara dengan cara yang berbeda-beda bergantung pada kesiapan infrastruktur fisik dan mental budaya masyarakat setempat. Belakangan kita terkaget-kaget dengan cara pemilu 'noken' di Papua yang berbeda dengan cara di daerah lain.

Kedua, perlu difahami bahwa e-voting melibatkan teknik kriptografi yang sangat rumit. Jauh lebih rumit dari sistem perbankan. Perbedaan pokok kerumitannya: pada perbankan, meskipun rahasia, seluruh data catatan transaksi kapan, siapa memindahkan uang berapa ke mana, tersimpan rinci di database. Di pemilu, asas rahasia melarang sistem menyimpan catatan siapa memilih siapa. Rincian catatan yang tersimpan maksimal adalah data kapan seseorang memasukkan suaranya dan rekap suara per TPS.

Ketiga, semua mesin voting harus dilengkapi dengan printer. Hasil vote tercetak di kertas untuk dimasukkan ke kotak suara. Meskipun pilihannya sudah langsung masuk dalam rekap namun bila diperlukan untuk keperluan audit, kotak suara bisa dibuka untuk penghitungan hasil secara manual. Kertas hasil vote ini bisa minimal saja karena hanya memuat satu nama, berbeda dengan kertas coblosan yang memuat semua nama. Persiapan hitung manual ini penting dan mudah difahamkan teknis verifikasinya ke masyarakat daripada sistem softaware paperless murni.


Cukup lah bisa dikatakan sebagai pendusta, seseorang yang mengatakan semua yang didengarnya (h.r. Muslim)

Kirim Komentar

Nama:
Website:

Ketik 361A di