MENGHINDARI PEMBAJAKAN PROGRAM KOMPUTER [dibaca 406 kali] Akhirnya Undang-Undang RI No. 19 Tentang Hak Cipta diberlakukan tanggal 29 Juli 2003. Dengan demikian, saat ini para pengedar/pengguna program komputer bajakan sudah resmi menjadi penjahat. Ini berarti sewaktu-waktu polisi bisa memeriksa dan menahan para pengedar/pengguna tersebut sebagaimana mereka memperlakukan pengedar/pengguna narkoba. Apa yang harus dilakukan UGM menyikapi pemberlakuan undang-undang tersebut? Tulisan singkat ini membahas seberapa dalam sivitas akademika UGM terlibat dalam tindak kejahatan pembajakan program komputer dan alternatif solusi untuk menghindarinya. Ada empat jenis program komputer yang digunakan di lingkungan Kampus UGM. Pertama, sistem operasi. Program ini berfungsi sebagai manajer peralatan komputer mulai dari komponen inti (prosesor dan memori) sampai ke komponen eksternal (keyboard, monitor, printer, jaringan komputer, dan sebagainya). Kedua, program aplikasi perkantoran umum untuk kepentingan pengetikan surat-surat dan laporan-laporan serta program-program bantu pengolahan data dalam bentuk tabel (spreadsheet dan basisdata relasional), disain grafis serta program-program pengembangan sistem. Ketiga, program-program aplikasi komputasi khusus seperti program-program simulasi, statistik dan bisnis. Keempat, game. Program jenis pertama selalu ada di setiap komputer. Mayoritas PC menggunakan sistem operasi Microsoft Windows (9x,2000,XP). Di satu sisi, setiap pembelian komputer branded (desktop dan mobile) biasanya selalu bersama termasuk lisensi program sistemoperasinya. Di sisi lain, pembelian komputer rakitan pada umumnya kosong. Boleh dikatakan di semua komputer rakitan terpasang sistem operasi bajakan kecuali sebagian kecil diantaranya yang diisi dengan sistem operasi berlisensi opensource (http://www.opensource.org). Program jenis kedua, aplikasi harian/perkantoran, pada umumnya diadakan terpisah dari pengadaan komputer. Pada umumnya di setiap PC terpasang program aplikasi perkantoran yang mayoritasnya menggunakan Microsoft Office. Karena mudahnya mendapatkan program bajakan, tidak akan jauh meleset bila kita tebak hampir semua komputer PC di lingkungan kampus UGM menggunakan program Microsoft Office bajakan. Penggunaan program jenis ketiga, aplikasi khusus, agak sulit untuk ditebak status legalitasnya. Program simulasi hidrologi, misalnya, tidak tersedia luas dipasaran program bajakan. Selain sedikitnya jumlah pengguna, penggandaan program jenis ini sering dipersulit dengan keharusan menancapkan kunci perangkat keras untuk menggunakannya. . Kesimpulan sementara, kita perlu memberi perhatian khusus pada legalitas penggunaan sistem operasi dan aplikasi perkantoran yang paling banyak terpasang dengan produk dari Microsoft. Ada dua solusi ekstrim, yaitu: (i) membeli lisensi; dan (ii) migrasi ke sistem opensource. Solusi manapun yang ditempuh, untuk sementara, sebagaimana dengan program-program game, legalitas penggunaan program-program khusus ini kita serahkan sepenuhnya pada masing-masing pengguna. UGM harus mengalokasikan dana yang tidak sedikit. . Solusi membeli lisensi Microsoft melalui program CA (Campus Agreement) bisa dilihat di ITB (http://www.itb.ac.id/news/news-content.html?newsID=79) dan (http://www.itb.ac.id/software_legal/). Dengan solusi ini, ITB membayar 25.000 s/d 85.000 USD untuk mensubsidi 3000 PC di lingkungan kampus dan setiap sivitas akademika membayar 80.000 rupiah (125.000 rupiah untuk dosen) untuk kepentingan pribadinya. Untuk tahun 2003 ITB telah mengalokasikan anggaran sebesar 60.000 USD. Dengan pembayaran ini, mahasiswa dan dosen mendapatkan legalitas untuk menggunakan sistem operasi Windows XP Professional, Office Professional XP (termasuk Visio), FrontPage (editor homepage), Publisher (editor penerbitan) serta Encarta (ensiklopedia). Solusi migrasi total ke sistem opensource dapat ditempuh dengan instalasi sistem operasi Linux dengan program aplikasi perkantoran OpenOffice atau aplikasi-aplikasi bawaan Window Manager (KDE, Gnome, dan sebagainya). Biaya terbesar diperlukan untuk pelatihan penggunaan sistem dengan "look and feel" yang sedikit berbeda dengan produk-produk Microsoft. Boleh dikatakan semua program aplikasi di Linux dapat digandakan tanpa tambahan beban biaya lisensi. Program-program tersebut meliputi program aplikasi perkantoran, disain grafis, pengembangan sistem aplikasi, sampai program-program khusus untuk simulasi, statistik, gis, dan sebagainya tersedia gratis. . Dari sisi lisensi, solusi migrasi ke opensource tidak perlu pembiayaan. Dari sisi penggunaan diperlukan biaya instalasi dan training. Dengan mengacu pada model CA di ITB, diperlukan training untuk 3000 pengguna. Training sistem operasi, dengan bekal pengetahuan sistem operasi lama, penggunaan Linux modern hanya memerlukan 2-5 session workshop dengan biaya Rp 50.000. Dengan miripnya OpenOffice dengan MS Office, training openoffice hanya perlu 2 kali pertemuan workshop dengan biaya 20.000 rupiah. Di atas kertas, training 3000 pengguna memerlukan biaya 3.000 kali Rp 70.000 = Rp 210.000.000. Dengan rata-rata biaya instalasi Linux Rp 30.000 per PC, maka biaya total migrasi kurang lebih Rp 300.000.000. . Sepintas, biaya migrasi total ke sistem berbasis opensource lebih murah dari pembelian lisensi program-program bajakan yang sudah biasa dipakai saat ini. Selain biaya sesaat, masih diperlukan perhitungan biaya tambahan seperti pengadaan fasilitas training, dan pendampingan staf akademik dan administratif. Namun demikian, dengan migrasi ke sistem opensouce, kita mendapatkan nilai yang tak terhingga dari sisi kebebasan kita dari ketergantungan pada produk berlisensi (Bambang Nurcahyo Prastowo).