Nonton Konser Siti Bambang Nurcahyo Prastowo Konser Siti Nurhaliza dalam rangka Dies UGM ke 55 buat saya luar biasa. Mungkin konser itu hanya biasa-biasa saja, tetapi saya sungguh mengaguminya; mungkin karena seumur-umur saya baru pertamakali nonton konser musik langsung. Sound system yang menurut telinga saya kurang hi-fi tidak mengurangi pesona Siti di panggung. Eloknya, paduan suara dan marching band UGM, orkestra ISI dan Jikustik bisa mendapatkan perhatian hangat dari penonton yang sebenarnya hanya ingin nonton Siti saja. Semua terlihat megah. Trade mark "kupu-kupu" putih yang tersorot lampu hias warna-warni serasi betul dengan penampilan Siti. Beberapa inovasi koreografi ada yang menambah kemegahan penampilan seperti umbul-umbuk silinder. Tetapi saya kasihan melihat Siti saat dililit selendang putih panjang yang ditarik-tarik penari latar. D antara kemegahan panggung, ada satu hal yang mengganggu pemandangan. Beberapa penari yang berkostum penutup dada rendah dan penutup kaki dengan belahan tinggi sungguh melukai perasaan penonton yang mencoba untuk berbangga dengan kosopanan busana Siti. Perkiraan saya, nonton Siti ini tidak akan mudah terlupakan. Bayangkan saja, kira-kira 200-300 meter sebelum masuk JEC, mobil mogok. Setir diambil alih Eva, saya turun. Sambil mendorong mobil saya berpikir keras apa yang harus diperbuat selanjutnya. Maklum, ini pengalaman pertama saya menangani mobil mogok di jalan. Yang membuat saya semakin kebingungan adalah kemacetan jalan akibat masih banyak mobil yang antri masuk JEC, padahal waktu konser saya perkirakan sudah terlambat 30 menit dari jadwal undangan. Ternyata mobil mogok justru membawa berkah. Sementara mobil lain sudah tidak diperbolehkan masuk alias harus parkir jauh di luar, mobil saya justru diminta parkir di dalam agar tidak mengganggu lalulintas. Yang penting masuk dulu, soal bagaimana nanti pulangnya bisa dipikir sambil nonton. Ternyata sudah juga melupakan mobil mogok; sudah begitu, camera nikon coolpix 3700 yang baru dibeli tidak boleh dibawa masuk dan harus dititipkan. Lagu demi lagu saya nikmati sambil terus memikirkan cara terbaik untuk pulang dan keselamatan camera digital yang dititipkan. Eva sendiri berkali-kali mengkhawatirkan anak-anak di rumah. Ada Eyang sih, tetapi kalau si bungsu Ahmad ngamuk, seisi rumah bisa kebingungan. Akhirnya saya dan Eva sepakat untuk pulang naik taksi dan esuk paginya mobil dijemput bersama bengkel. Pikiran sudah agak tenang setelah ada keputusan meskipun saya tidak tahu apakah itu keputusan yang terbaik. Untuk menghindari kemacetan saat bubaran, Eva ajak saya keluar duluan pada saat Siti ganti pakaian yang terakhir. Sampai di depat gerbang, tempat Mr 90 terparkir, beberapa satpam, polisi dan penjaga gedung menawarkan dorong mobil. Problemnya sih jelas, aki sudah waktunya diganti dan tidak mampu menggerakkan motor starter. Tawaran saya terima. Kunci kontak saya masukkan, putar on dan coba start. Greng... ternyata mestin bisa hidup. Alhamdulillah. Saya dan istri bisa sampai rumah dengan selamat.