Open Source Campus Agreement

Bambang Nurcahyo Prastowo

Keynote Speech pada Seminar Linux
di Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta, 3 November 2001

Assalamualaikum, Wr., Wb.,

Saat kuliah di Department Computing and Information Science, Queen's University, Canada, saya belajar menggunakan komputer dengan sistem operasi Sun OS (kompatibel Unix System V) karena hanya itu yang tersedia di graduate student office di kampus. Universitas sebenarnya juga menyediakan banyak terminal VM/CMS (dari IBM), tapi tempatnya menyaberang jalan (tidak nyaman di musim salju), lagi pula fasilitas pemrogramannya tidak selengkap yang ada di department. Saya membeli sebuah PC kelas 80286/16MHZ dengan hardisk 20 Meg dan memory 640k untuk bekerja di tempat tinggal. Untuk sistem operasi komputer rumah, saya beli MSDOS 3.1 dan MS Windows 2 yang bisa jalan di PC kelas 286 (saya masih simpan beberapa disket instalasi asli Microsoft sebagai kenang-kenangan). Bekerja dengan beberapa macam sistem operasi kadang memang mengalami permasalahan, namun sering justru bisa meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan menggunakan komputer.

Untuk mengerjakan tugas-tugas pemrograman, di rumah saya menggunakan Turbo Pascal versi 3; sementara di kampus saya menggunakan Turing, Concurrent Euclide, dan C. Penelitian S2/S3 waktu itu banyak berhubungan dengan bahasa tinggi untuk sistem pemrograman komputer. Dalam kenyataan sehari-hari terpaksa saya lebih banyak menggunakan fasilitas kampus karena komputer di rumah sering tidak mencukupi terutama untuk pengembangan program percontohan yang memerlukan memori besar.

Tahun 1989, fasilitas komunikasi dengan siswa di kampus lain sudah tersedia. Queen's Universitas menyediakan electronic-mail (imil) bitnet (fasilitas komunikasi antar komputer mainframe IBM yang populer sebelum Internet) untuk mahasiswa graduate. Fasilitas ini bisa dimanfaatkan untuk banyak hal antara lain yang sering saya lakukan adalah download program-program kecil untuk PC berbasis MSDOS yang didistribusikan dengan lisensi shareware yang kurang lebih berbunyi: ``Silakan coba, kalau suka bayar.'' Meskipun banyak yang saya suka dan pakai, tapi tidak satu pun ada software shareware yang saya bayar. Anggap saja ini sebagai percobaan seumur hidup. Pada Akhirnya toh tidak saya jarang menggunakan software shareware.

Disamping download program, jaringan komputer global dimanfaatkan para mahasiswa Indonesia untuk membentuk organisasi berbasis komunikasi antara lain Janus (Jaringan Nusantara?) dan Isnet (Islamic Network). Masih terhitung dalam tahap awal perkembangan, dari Kingston Canada, saya ikut mengelola fasilitas mailing-list (milis) Isnet yang waktu itu tertampung dalam mesin Vax/VMS di Madison. Internet telah menyatukan berbagai macam net-net di dunia. Memenuhi tuntutan para anggota, Isnet kemudian membeli sebuah komputer Sun workstation yang dioperasikan sebagai server. Saya belajar banyak tentang administrasi, pengelolaan dan prmrograman sistem bercorak Unix pada server milik Isnet yang terpasang di Universitas Manitoba, Canada.

Banyak hal berkembang dari kehadiran Internet. Selain fasilitas imil dan milis, server Isnet difungsikan pula sebagai gudang arsip baik artikel lepas maupun artikel diskusi. Waktu itu langsung terpasang 24 mailing-list untuk kepentingan komunikasi komite-komite kerja Isnet. Tantangan pertama adalah bagaimana kita mencegah agar ``pengumuman'' yang sering dikirim ke banyak milis tidak mengakibatkan anggota terima imil yang sama berkali-kali; masalahya banyak anggota yang mengikuti hampir semua milis yang ada. Perl waktu itu menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi masalah ini. Anggota dilarang kirim imil yang sama ke lebih dari satu milis. Jika diperlukan, tambahkan baris ``Att: milis1, milis2, ...''. Perl akan menyelesaikan distribusinya tanpa duplikasi.

Server Isnet juga digunakan sebagai pusat komunikasi on-line. Dengan konsep mud, Isnet menggunakan MUDOS sebagai server komunikasi on-line ala IRC baik untuk dunia berbahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris (Negeri Isnet/NI dan Isnet World/IW). Berbagai fasiliats komunikasi dibangun antara lain, alat perekam diskusi, perpustakaan koleksi diskusi dan artikel lepas, referensi on-line tarjamah Qur'an dan Hadith sebagai dasar pegangan diskusi dan sebagainya. Berbagai fasilitas itu dibangun sendiri sepotong demi sepotong oleh beberapa programmer Isnet yang bekerja sama tanpa pernah bertemu muka.

Tahun 1992, melalui komunikasi e-mail, Pak Budi Rahardjo memperkenalkan Linux sebagai sistem operasi bercorak Unix yang jalan di komputer PC. Ini berita baik, sudah lama saya memimpikan memiliki sebuah komputer Unix di rumah. Sayang setelah dibaca dengan seksama, Linux tidak bisa dipasang di komputer 286. Untung dana penelitian S3 cukup untuk membeli PC baru untuk Linux. Waktu itu saya bisa mendapatkan PC 386DX2/40 dengan hardisk 1.7 G dan memory 4 Meg, cukup untuk menjalankan Linux SLS, salah satu dari dua distribusi yang tersedia dengan kernel versi 0.81 (Mandrake 8.1 sekarang menggunakan kernel versi 2.4.8). Waktu itu dua distribusi ``bersaing ketat'' SLS (Amerika/Kanada) dan MCC (Inggris/Eropa). Sesaat setelah munculnya SLS dan MCC, dari Texas, AM, muncul distribusi TAMU dengan metode instalasi yang dipermudah, terutama pada setup X Window Sistem. Terakhir sebelum saya pulang ke Indonesia muncul Slackware dan Debian. Sekarang orang banyak menggunakan distribusi ``komersial'' seperti RedHat, SuSE dan Mandrake.

Dengan Linux, banyak hal bisa dilakukan di rumah. Program percontohan untuk penelitian bisa juga dijalankan dengan merakit sendiri interpreter prolog dari SWI (download dari Belanda). Saya bisa menambah fasilitas akses internet dengan memanfaatkan buangan dump terminal dari lab kampus lama sehingga istri saya bisa akses Internet sementara saya tetap bisa mengerjakan penelitian di komputer kampus dari rumah dengan konektivitas modem yang sama. Dengan virtual memori program-program basis data prolog yang banyak makan memori bisa berjalan tanpa kekhawatiran sistem akan menggantung. Tentu saja, kegiatan download terus berlangsung. Bedanya, kali itu saya tidak pernah lagi download software binary untuk DOS, tetapi selalu download software dalam bentuk sebagaimana dituliskan progammernya. Waktu itu software aplikasi komputer untuk Linux belum sebanyak yang ada di Sun OS, namun karena bercorak sama, source dari Sun OS biasanya bisa di-compile mulus tanpa banyak perubahan untuk bisa dijalankan di Linux.

Ketika pulang dari tugas belajar di Kanada akhir tahun 1995, saya membawa sebuah komputer PC kelas 486 DX2/66 dengan 170 megabyte hardisk dan 20 megabyte RAM. Disamping itu saya juga membawa 23 disket instalasi Linux Slackware. Sistem instalasi dalam CD belum begitu populer. Tawaran kepada rekan-rekan dosen untuk mencoba bekerja dengan sistem informasi alternatif belum mendapat sambutan meriah. Satu-satunya partner bermain Linux adalah Pak Purwanto yang waktu itu dia mahasiswa teknik elektro yang kebetulan telah banyak kontak imil dari Yogyakarta saat saya masih aktif di milis Isnet dari Kanada. Pak Tri Kuntoro yang waktu itu sedang bertugas membangun GAMA-Net memanfaatkan Slackware yang saya bawa untuk membangun server-server Internet untuk Universitas Gadjah Mada. Waktu itu UGM telah memiliki saluran Internet melalui Ipteknet (leased-line) dan Radnet (VSAT).

Instalasi Linux ``besar'' pertama saya buat di laboratorium pengembangan teknologi informas Universitas Ahmad dahlan tahun 1996. Lab yang terdiri dari 2 komputer sebagai server (konektivitas Internet dan Lokal web/e-mail server) dan 8 workstation. Instalasi ini dimaksud sebagai modal awal lembaga Pusat Ilmu Komputer dan Sistem Informasi (PIKSI) UAD yang baru dibentuk. Kegiatan pertama PIKSI mengadakan workshop Internet berbasis Linux. Acara ini boleh dibilang acara Linux kampus pertama di Yogyakarta (mungkin pertama pula di Indonesia). Sayang sekali SDM PIKSI UAD setelah itu tidak bisa terus konsentrasi penuh untuk mengembangan Lab baru ini. Pak Muslihudin melanjutkan S2 ke Bandung, Pak Rake ke Australia, Pak Muchlas sekolah S2 ke UGM dan saya sendiri menjabat Kepala Seksi Jaringan Komunikasi Data, UPT Pusat Komputer (Puskom) UGM. Saat ini yang masih ``tersisa'' adalah Pak Taufiq, mantan mahasiswa Teknik Informatika UAD angkatan awal, yang menjabat sebagai kepala pelaksana harian PIKSI UAD.

Apa maksud pengungkapan potongan kisah di atas? Pesan moral utama dari ``perjalanan rohani'' Bambang Prastowo tersebut adalah: ``Banyak pekerjaan dapat diselesaikan dengan perangkat lunak berbasis Linux yang de-facto adalah salah satu tiang terbesar pendukung gerakan opensource.'' Untuk segala urusan sistem dan aplikasi jaringan komputer, dunia opensource (termasuk Internet yang dibangun oleh masyarakat opensource) melangkah lebih maju dibanding kompetitor closesourcenya. Tim OSCA UAD telah membuktikan bahwa untuk setiap software komersial yang banyak dimanfaatkan masyarakat, hampir selalu dapat ditemukan software opensource yang mampu menyelesaikan pekerjaan sekelas dengan cara lebih baik. Untuk kualifikasi ``lebih baik'' ini memang subjektif, namun kita bisa merenungi slogan PT Telkom untuk fitur-fitur barunya, yakni: ``Ini hanya masalah kebiasaan.'' Lebih dari segala yang telah disebutkan di atas, Opensource membuka peluang bagi kita untuk melangkah sejajar dengan pionir-pionir teknologi informasi dunia, minimal di bidang pengembangan software.

Sekian, Wassalamualaikum, Wr., Wb.