Telepon Genggam

Lama saya berpendapat bahwa telepon genggam adalah fasilitas berlebihan yang hanya menghabiskan tenaga dana saja sampai suatu saat saya melihat seorang tukan dawet di perempatan purnabudaya menggunakan telepon genggam untuk minta tambahan pasokan santan. Sejak itu pikiran berubah; saya harus punya. Masalahnya pada waktu itu harga ponsel rata-rata masih di atas 1,5 juta rupiah. Akhirnya saya dapatkan juga Nokia 5110 dengan pinjam uang kantor dan dibayar 6 bulan dengan cicilan dari honor saya di Pusat Komputer UGM.

Nokia memang bagus. Navigasi menunya sangat mudah dipelajari hingga sebagai pengguna baru pun saya tidak perlu buka buku manual. Saya pakai hand phone ini sampai suatu saat mulai menurun kekuatan sinyalnya. Mungkin hanya perasaan saya saja. Dalam kenyataan penyebab penurunan sinyal karena ada peningkatan pemakai. Logis nggak? Saya merasa perlu ganti pesawat ketika display mulai menghilang secara berkala. Kadang bisa muncul kembali kalau ditepuk-tepuk. Dalam beberapa waktu saya sempat menggunakan pesawat untuk telpon dan kirim sms; saya bisa pakai 5110 tanpa melihat ke layar dari hafalan menunya kecuali baca sms.

Waktunya beli ponsel baru. Pilihan jatuh ke PHILIPS Xenium 9@9. Kagok sekali pakainya karena navigasi menu mengguna roda di samping yang bisa diputar dengan menggeser ke atas ke bawah. Pesawat ini punya kelebihan pada baterenya. Bayangkan, sekali charge, ponsel bisa digunakan sampai pulsa satu kartu habis. Pada waktu itu saya menghabiskan pulsa prabayar 2 x Rp.100.000,-- perbulan. Nah, dalam satu bulan itu, Xenium hanya perlu dicharge dua kali!

Saya perlu ganti pesawat ketika Xenium itu jatuh di pantai Pangandaran. Rupa-rupanya air garam merusak bagian dalam pesawat. Gejala awal sinar background hijau/biru terganggu dan lama kelamaan tidak bisa digunakan sama sekali. Giliran berikutnya saya dapat hadiah sample Siemens SL45i. Meskipun baterenya harus charge 2-3 hari sekali, ponsel ini punya fitur organiser yang bisa memenuhi kebutuhan perkantoran saya; lagipula dia menyedia charger dalam bentuk docking sehingga pulang kantor bisa langsung taruh HP pada tempat yang langsung melakukan charging.

SL 45i adalah ponsel yang paling lama saya pakai sepanjang sejarah. Meskipun ada cucuk antenanya, body SL45i sangat kuat. Sekuat-kuatnya pesawat, akhirnya brodol juga setelah terbanting berkali-kali oleh Ahmad. Kebetulan Ahmad menyukai beberapa ring tone dari ponsel ini. Saat ini SL45i masih bekerja baik dengan bantuan zat magic bermerek Alteco. Meskipun tidak lagi memiliki kaca penutup pemancar irda, SL45i masih dapat berfungsi sempurna, termasuk mengumandangkan beberapa ayat Al Qur'an dari file MP3 yang saya masukkan ke MMC cardnya.

Termakan iklan Sony Ericsson, saya membeli K700i. Wah.. terus terang saya menyesal. Fungsi-fungi organisernya kalah dengan SL45i sementara unggulan fungsi camera digital tidak masuk hitungan karena saya sudah terbiasa menggunakan Nikon Coolpix3700. Saya tidak butuh radio. Di mobil ada radio yang bisa didengarkan tanpa keruwetan kabel. Mau kembali ke Alteco-ed SL45i, saya malu dengan istri. Masalahnya untuk bisa mengeluarkan uang 2 juta lebih untuk sebuah ponsel baru perlu acara bujuk membujuk satu bulan lebih (waktu yang cukup berarti untuk penurunan harga K700i dari 2,75 ke 2,2 juta rupiah).

Bagi yang tergiur berbagai iklan ponsel, renungkan tulisan saya ini. Pikirkan betul untuk apa kita pegang pesawat yang berharga mahal. Apa sebenarnya yang kita perlukan.