Evaluasi SDM IT Indonesia Bambang Nurcahyo Prastowo Saya mendapat pertanyaan dari Majalah E-Indonesia mengenai beberapa hal yang menyangkut pengembangan SDM IT di Indonesia. Saya pikir tanya jawab via email ini bagus juga saya postingkan di sini. Barangkali ada teman-teman lain yang berminat untuk ikut nimbrung silakan bubuhkan pada kolom komentar di bawah. Garis besar pertanyaan: 1.Menurut Bapak, apa saja yang termasuk dalam kategori SDM TI (programmer, network administrator, web designer, web master, instruktur/dosen, penulis buku, manager TI, entrepreneur TI, dsb.). Mungkin bisa dibuat batasannya dulu seperti misalnya SDM IT adalah kelompok masyarakat yang penghasilan utamanya berasal dari pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pengembangan, pemasangan dan pemeliharaan peralatan teknologi informasi. Dari batasan ini bisa kita evaluasi apakah disainer grafis yang banyak menggunakan komputer untuk bekerja termasuk dalam kategori SDM IT atau bukan. 2.Sebenarnya apa sih yang termasuk dalam kategori lapangan kerja TI? Apa sebenarnya level pendidikan yang diinginkan industri: D1, D2, D3, D4, S1, S2, S3? Perlu bersertifikat? Mengulang jawaban pertanyaan 1, lapangan kerja TI adalah lapangan kerja yang berhubungan langsung dengan pengembangan, pemasangan dan pemeliharaan peralatan teknologi informasi. Beberapa segmen lapangan kerja TI seperti instalasi kabel komunikasi data memerlukan sertifikasi keahlian. Untuk menjadi programmer secara umum perlu ijasah minimal D3 di bidang TI. Analis dan disainer memerlukan pendidikan minimal S1. Pendidikan S2 dan S3 diperlukan untuk segmen penelitian. 3.Bagaimana mengukur kualitas SDM TI? Bagaimana pula data-data serapan SDM TI sebaiknya diperoleh dari dunia kerja? Saya kira tidak beda dengan SDM bidang lain, kualitas SDM IT diukur dari kecepatan menyelesaikan pekerjaan dan kemudahan pengembangan hasil kerjanya oleh orang lain. Tidak mudah memperoleh data serapan SDM IT dari dunia kerja mengingat pendeknya masa kerja SDM IT di suatu perusahaan tertentu. Saya perhatikan teman-teman saya tidak tahan di perusahaan tertentu lebih dari 4 tahun. 4.Ada banyak perdebatan: apakah Perguruan Tinggi/Universitas kita menyiapkan SDM yang siap pakai ataukah siap latih (adaptif)? Siap pakai berarti universitas harus menyiapkan SDM TI yang sesuai pesanan industri. Padahal TI sangat luas spektrumnya. Kalau SDM TI kita disiapkan untuk industri X saja, mungkin jadi tidak siap pakai untuk industri Y. Sementara itu industri TI juga sangat dinamis. Kalau siap latih maka universitas menyiapkan SDM agar adaptif, dengan konsekuensi: industri harus siap melatih lulusan universitas. Jadi ada kesan istilah siap pakai adalah tricknya industri untuk menghemat waktu dan biaya SDM. Menurut Bapak? Institusi pendidikan tidak akan mungkin bisa meluluskan SDM IT siap pakai dalam pengertian trampil menangani dan punya pengetahuan cukup mengenai peralatan TI di tempat kerja mengingat sifat dinamis dari IT itu sendiri. Tetapi saya yakin bisa disusun kurikulum sedemikian lulusan institusi tersebut siap kerja. SDM IT yang baik dapat langsung belajar menangani peralatan TI yang tersedia dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan awalnya. 5.Menurut Bapak, apa yang dimaksud dengan kesiapan SDM TI. Siap untuk apa? Seringkali hanya universitas yang disalahkan tidak mampu menyiapan SDM siap pakai. Padahal mungkin saja dunia industri yang sedang turun. Sebagai contoh bidang civil engineering (konstruksi) yang tidak kita ragukan kesiapan para insinyurnya, toh turun juga akibat krisis ekonomi yang berakibat demand untuk konstruksi menurun. Kesiapan SDM TI tidak lepas dari demand dan kesiapan para entrepreneur bertarung di dunia nyata. Kalau industri TI lebih banyak diisi dengan distributor produk-produk luar negeri, untuk apa kita siapkan programmer, misalnya. Perlu dipisahkan IT engineer murni dengan mereka yang punya kemampuan manajerial. Sebagaimana dengan disainer taman yang tidak harus mampu mengembangkan perusahaan konsultan arsitektur, SDM IT tidak selalu harus bisa menjadi manajer software house. 6.Marc Andreesen (mahasiswa Computer Science di Amerika Serikat, yang tugas akhirnya adalah web browser) bertemu Jim Clark (seorang entrepreneur) dan membentuk Netscape, Inc. perusahaan yang membuat dan memasarkan web browser Netscape (Netscape kalah di pengadilan ketika ia menuntut Microsoft karena membuat web browser Internet explorer built-in dalam Windows). Marc Andreesen mungkin saja brilliant, smart, intelligent, genius, dan jelas merupakan SDM TI yang handal dan siap pakai. Tetapi apakah dia akan sukses tanpa kontibusi Jim Clark, seorang entrepreneur handal? Andai dia bertemu entrepreneur yang tidak sehebat Jim Clark, barangkali kita tidak kenal Netscape. Marc Andreesen dan Jim Clark mungkin tidak sukses juga bila mereka tidak berada di Amerika Serikat (di Indonesia, misalnya). Jadi kesiapan SDM TI memiliki banyak factor: professional TI, entrepreneur TI, dan juga pemerintah (regulator). Kalau Indonesia dikatakan tidak kompeten di bidang hardware sehingga potensinya hanya pada software, tentu tidak hanya karena SDM TI tidak mampu di bidang hardware, tetapi juga karena kalangan industri yang juga tidak mampu mencari celah untuk bisa komplementer dengan industri hardware dunia, serta pemerintah yang tidak mampu menyediakan environment dan regulasi untuk berkembangnya industri hardware. Pertanyaannya, apakah kita yakin dengan potensi Indonesia di dunia software? Saya punya keyakinan itu. Yang kita perlukan saat ini adalah manajer pemasaran yang mampu menyebarkan keyakinan itu. Dengan bekal Internet dan komunitas free software atau opensource, kita bisa mengembangkan software untuk keperluan apapun. Memang untuk mengembangkan sistem akuntansi, software engineering tidak bisa bekerja tanpa bekerjasama dengan akuntan. 7.Industri perhotelan (yang umumnya waralaba dari luar negeri) sudah mempunyai standard software sendiri, dan mereka menggunakan software yang sama di seluruh dunia. Dengan strategi lock-in seperti ini, apakah ada celah bagi industri software Indonesia untuk masuk? Untuk industri yang memang memerlukan kerjasama erat seperti perhotelan dan transportasi udara, penggunaan software standar merupakan keharusan mengingat sifat keterpaduan layanan akomodasi dan transportasi. Hal yang sama juga terjadi di industri perbankan. Industri software di Indonesia bisa masuk dalam celah-celah interfacing dengan pelanggan semisal kastemisasi penyajian informasi yang lebih friendly dengan inovasi model navigasi meskipun tetap harus menjadi bagian dari sistem global untuk data administratif semisal booking. 8.Pemda dan e-government bisa merupakan demand baru. Namun juga ada demand di luar negeri. Banyak alumni ITB, UGM, UI, ITS, dsb. yang bekerja di luar negeri. Bagaimana data pekerja TI di luar negeri bisa kita peroleh? Bagaimana data kebutuhan SDM TI untuk Pemda? Bagaimana mekanisme proyek bisa menyelesaikan masalah kebutuhan software daerah. Kontrak proyek biasanya ditandatangani Agustus/September dan tutup buku Desember. Apakah mungkin proyek 4 bulan bisa menyelesaikan persoalan komputerisasi daerah secara tuntas? Apa jaminan Proyek mblandang akan diselesaikan sungguh-sungguh oleh developer. Jangan-jangan hanya memenuhi audit keuangan sehingga ditandatangani bahwa proyek sudah selesai. Apakah ada audit mengenai deployment TI di daerah untuk menilai keberhasilannya? Di suatu seminar saya pernah mengusulkan untuk mengadopsi model yang dikembangkan oleh Free Software Foundation yakni menggalang dana, dalam hal ini, APBN/APBD, untuk mendanai proyek Free Software untuk e-Government. Saya menyarankan teman-teman di pemerintahaan agar memasukkan (GPL) General Public License dalam RKS sebagai lisensi produk software dan dokumentasinya pada semua project e-Goverment di Indonesia. Produk-produk ini harus disubmit di sentral web server (misalnya di depkominfo) untuk bisa dimanfaatkan pemda-pemda lain. Yang akan terjadi adalah: 1.Perguruan-perguruan tinggi penyelenggara pendidikan IT akan berlomba-lomba memasukkan proposalnya. 2.Kualitas software tidak bisa ditinggal mblandang begitu saja karena para pelaku baik dari sisi pemerintah maupun pelaksana akan mendapat evaluasi ketat dari masyarakat. Karena itu saya sarankan mengambil perguruan tinggi bermatabat sebagai mitra kerja. Dengan publikasi produk kerja yang terbuka, mereka tidak akan mengambil resiko kehilangan martabatnya. 3.Secara nasional, biaya pengembangan e-government akan turun drastis karena SDM IT di pemerintahan akan saling belajar satu-sama lain. Komponen biaya e-goverment menurun untuk: 1.hardware 2.instalasi dan kastemisasi 3.data entry 4.training 5.pengembangan elemen-elemen e-gov yang baru. Beberapa teman mengkhawatirkan akan jatuhnya industri IT di Indonesia. Saya katakan tidak akan ada yang jatuh mengingat dalam kenyataannya tidak banyak yang benar-benar berdiri.