Date: 01-04-12 11:27
Ayah saya dulu perokok berat merek ting-we alias ngelinting dhewe. Saya sering diutus (kata halus untuk disuruh) membeli tembakau Boyolali di kios rokok depan pasar Ngasem. Ada satu hal yang saya amati waktu itu sangat menarik sehingga sampai sekarang tidak terlupakan yakni tembakau merek Boyolali itu tidak pernah menaikkan harga!
Secara berkala, sekitar 4-6 bulan sekali terjadi perubahan pemaketan. Karena saya membeli paket segenggam tembakau itu hampir tiap hari, bisa merasakan volume paket menyusut sedikit demi sedikit. Setelah kira-kira mencapai 75% volume asli, muncul paket baru dengan volume dua kali (150% volume asli) itu dengan harga dua kali lipat. Proses penyusutan terus berlangsung dari hari ke hari termasuk volume paket baru itu. Setelah volume paket baru mencapat 100% paket asli, paket lama yang sudah sangat kecil (di bawah 50% volume paket asli) tidak lagi dijual. Tidak ada kenaikan harga, tidak ada demo.
Selain premium yang harganya ditentukan dengan undang-undang (persetujuan DPR), kita mengenal pertamax (ada lebih dari 1 jenis) yang dijual dengan harga suka-suka. Terakhir saya traveling ke Malang yang tipe 95 dijual Rp.10.200/liter. Saya ingat dulu pemerintah jual bahan bakar dengan nama bensin. Kemudian muncul nama premium dan sekarang pertamax, super, dsb. Belajar dari penjual tembakau Boyolali, pemerintah tidak perlu menaikkan harga bensin. Perbanyak ketersediaan pertamax. Pastikan semua SPBU jual pertamax kemudian sedikt demi sedikit kurangi pasokan bensin/premium. Kalau ada yang mengeluh mobilnya tidak kuat bensin oktan tinggi, jual saja \'pertamax oktan rendah.\' Tidak ada kenaikan harga, tidak ada demo.
Dunia sudah terlanjur dikuasai sistem kapitalisme. Kebijakan apa pun yang mencederai sistem kapitalisme, bila diterapkan pada level yang bersinggungan dengan perdagangan internasional bakal mengundang penyimpangan. Penetapan harga komoditas internasional harus pas. Kalau terlalu mahal bakal mengundang penyelundupan masuk, kalau terlalu murah akan diselundupkan ke luar.
Mana yang lebih mudah dilakukan? Mencegah orang kaya beli produk bersubsidi atau mencegah mereka ambil jatah BLT?
Ayah saya dulu perokok berat merek ting-we alias ngelinting dhewe. Saya sering diutus (kata halus untuk disuruh) membeli tembakau Boyolali di kios rokok depan pasar Ngasem. Ada satu hal yang saya amati waktu itu sangat menarik sehingga sampai sekarang tidak terlupakan yakni tembakau merek Boyolali itu tidak pernah menaikkan harga!
Secara berkala, sekitar 4-6 bulan sekali terjadi perubahan pemaketan. Karena saya membeli paket segenggam tembakau itu hampir tiap hari, bisa merasakan volume paket menyusut sedikit demi sedikit. Setelah kira-kira mencapai 75% volume asli, muncul paket baru dengan volume dua kali (150% volume asli) itu dengan harga dua kali lipat. Proses penyusutan terus berlangsung dari hari ke hari termasuk volume paket baru itu. Setelah volume paket baru mencapat 100% paket asli, paket lama yang sudah sangat kecil (di bawah 50% volume paket asli) tidak lagi dijual. Tidak ada kenaikan harga, tidak ada demo.
Selain premium yang harganya ditentukan dengan undang-undang (persetujuan DPR), kita mengenal pertamax (ada lebih dari 1 jenis) yang dijual dengan harga suka-suka. Terakhir saya traveling ke Malang yang tipe 95 dijual Rp.10.200/liter. Saya ingat dulu pemerintah jual bahan bakar dengan nama bensin. Kemudian muncul nama premium dan sekarang pertamax, super, dsb. Belajar dari penjual tembakau Boyolali, pemerintah tidak perlu menaikkan harga bensin. Perbanyak ketersediaan pertamax. Pastikan semua SPBU jual pertamax kemudian sedikt demi sedikit kurangi pasokan bensin/premium. Kalau ada yang mengeluh mobilnya tidak kuat bensin oktan tinggi, jual saja \'pertamax oktan rendah.\' Tidak ada kenaikan harga, tidak ada demo.
Dunia sudah terlanjur dikuasai sistem kapitalisme. Kebijakan apa pun yang mencederai sistem kapitalisme, bila diterapkan pada level yang bersinggungan dengan perdagangan internasional bakal mengundang penyimpangan. Penetapan harga komoditas internasional harus pas. Kalau terlalu mahal bakal mengundang penyelundupan masuk, kalau terlalu murah akan diselundupkan ke luar.
Mana yang lebih mudah dilakukan? Mencegah orang kaya beli produk bersubsidi atau mencegah mereka ambil jatah BLT?
Kirim Komentar
Powered by Waton CMS. Semua tulisan dan image yang ada di homepage ini adalah tanggung jawab Bambang Nurcahyo Prastowo kecuali: (a) diubah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, (b) secara eksplisit disebutkan rujukan sumber luarnya, atau (c) komentar, tanggapan dari pembaca.